Masyarakat Puritan, Kemunafikan, dan Mengapa Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kita Selalu Tertinggal

Fadhaa Aditya
6 min readAug 4, 2023

Tidak dapat dipungkiri lagi, masyarakat Indonesia digambarkan sangat mendekati apa yang biasa diibaratkan sebagai masyarakat puritan. Kita (atau mungkin kebanyakan pemeluk agama di Indonesia) menyukai kemurnian dan kesucian sampai ke akar-akarnya serta menghina adanya penyimpangan yang buram di antara sakleknya dogma-dogma yang diajarkan kitab suci. Penggunaan kata masyarakat puritan di Indonesia yang masyarakatnya didominasi oleh satu agama kerap digantikan oleh secara linguis dengan kata fundamentalis atau hal-hal lainnya yang dijabarkan oleh media-media barat. Dalam masyarakat Indonesia, anggota masyarakat, terlepas dari apa agama yang dianut, diharapkan dapat memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai satu kesatuan sosial akan norma-norma sosial dan norma-norma agama mayoritas yang telah dibenturkan ke ranah privat anggotanya.

Gambar: Kelompok kristen puritan. Meskipun konsep puritanisme dalam agama selain Kristen tidak begitu dikenal, tetapi artikel ini akan menggunakan istilah puritan untuk menyebut kelompok pemeluk agama yang sesuai dengan definisi puritan tanpa memandang agama apa yang dianut.

Kendati demikian, pada kenyataannya, apa yang terjadi di masyarakat tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada masyarakat puritan yang diharapkan menjadi masyarakat suci yang hidup dalam tautan norma, kenyataannya secara akar rumput dan ketika kita telah menapaki tabiat manusia, apa yang terjadi dapat dinilai cukup kontras dari apa yang diharapkan. Misalnya, ketika hidup di Indonesia secara mutlak diminta untuk mengikuti ajaran agama–termasuk di dalamnya adalah untuk beribadah secara taat, maka sebenarnya mereka yang benar-benar taat tidaklah sebanyak apa yang kita kira. Sebagai suatu negara yang 86% penduduknya menganut agama yang sama, kita tidak bisa mengatakan bahwa 86% populasi tersebut adalah pemeluk yang taat, kendati estimasi yang pasti tentang jumlah populasi yang taat tersebut tidak pernah diperhitungkan secara statistik. Sebuah pendapat mengatakan bahwa sekitar hanya ada sekitar 25%, sementara pendapat lain mengatakan hanya ada sekitar 40%. Tentunya, pendapat tersebut tidak dapat diartikan sebagai bukti yang konkrit karena tidak berlandaskan argumentasi ilmiah.

Narasi tersebut menjelaskan betapa ironisnya sebagai masyarakat puritan. Apa yang terjadi di masyarakat puritana tidak menggambarkan kondisi ideal dari puritan itu sendiri–hidup tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Bahkan pada kelompok orang-orang yang menuhankan konsep puritan itu sendiri ketimbang Tuhan mereka, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang dalam golongan tersebut mempraktikkan ajaran-ajaran agama secara benar. Masalahnya adalah lolongan kaum puritan di masyarakat Indonesia ini sangatlah kencang sekali dan terdengar hingga ke ranah privat anggota di luar kaum puritan tersebut dan mencederai fungsionalitas masyarakat secara utuh. Hal ini dapat dilihat pada hipokrisi masyarakat akan ketabuan seksual dan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak perlu dianggap tabu.

Kemunafikan tentang hal-hal yang dianggap tabu

Bukan sekali atau dua kali kita melihat banyak sekali kemunafikan di sekitar kita dan hal yang paling nyata dapat diobservasi ketika berbicara mengenai kesehatan reproduksi dan isu-isu yang menyertainya. Misalnya tentang seks dan hubungan seksual. Larangan untuk menjelaskan apa itu seks masih lumrah di Indonesia. Kurikulum nasional yang menjelaskan tentang seks masih terbatas sekali di Indonesia–kebanyakan terintegrasi secara akademik pada mata pelajaran biologi dan kesehatan jasmani yang hanya membahas aspek secara fisiologis belaka tanpa memandang kesehatan reproduksi sebagai satu kesatuan dari fisiologis, psikologis, dan sosial dengan alasan adanya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif adalah ajang untuk mempromosikan seks bebas. Setiap informasi yang muncul ke publik yang bernuansakan edukasi kesehatan reproduksi selalu menuai pro-kontra dan argumen mereka yang kontra selalu bernada sama: informasi tersebut akan menyesatkan generasi muda untuk melakukan seks di luar nikah. Hal ini juga diperkuat bahwa agama mayoritas di Indonesia mengajarkan bahwa hubungan seksual di luar hubungan pernikahan tidak dapat diterima dalam alasan apapun. Atribusi bernada edukasi seksual lantas dinilai dengan kacamata tambahan, yaitu moralitas agama yang menganggapnya sebagai hal yang dilarang. Parahnya lagi dalam masyarakat puritan, edukasi seksual ini kemudian mengalami pemboikotan, lagi-lagi dengan landasan agama.

Namun, ketahuilah bahwa sejatinya dengan tidak adanya edukasi seksual sekalipun, generasi muda (remaja) yang melakukan hubungan seksual akan selalu ada. Survei 2018 menjelaskan bahwa 8% remaja laki-laki dan 8% remaja perempuan telah melakukan hubungan seksual premarital. Hal yang paling penting untuk dilakukan adalah bagaimana remaja yang telah melakukan hubungan seksual ini berada dalam lingkungan yang sehat (tentang bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan bahwa melakukan hubungan seksual di usia dan kondisi tersebut sudah paling tepat dan tanpa penyesalan serta tanpa menghasilkan penyakit penyerta), alih-alih menghakimi mereka dengan landasan agama, mengingat penghakiman tidak akan menghasilkan apapun yang berguna. Manajemen seperti ini adalah hal dinilai paling krusial dalam kacamata kesehatan masyarakat.

Kesehatan reproduksi kita selalu tertinggal

Ketiadaan akan adanya edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif dan selalu adanya remaja yang melakukan hubungan seksual adalah dua hal yang perlu diintervensi, tetapi intervensi untuk meniadakan remaja yang melakukan hubungan seksual adalah suatu ketidakmungkinan, oleh sebab: 1) seks adalah naluri alamiah umat manusia; 2) bahkan golongan puritan sendiri juga tidak jarang tertangkap basah melakukan hal tersebut; dan 3) secara logika memang tidak mungkin untuk meniadakan eksistensinya. Maka dari itu, edukasi kesehatan reproduksi secara komprehensif adalah pilihan yang sebenarnya paling logis untuk dilakukan.

Topik edukasi seksual komprehensif
Topik edukasi seksual komprehensif

Sayangnya, dengan narasi yang telah dijelaskan sebelumnya, ide ini ditolak terus-terusan oleh kaum puritan dengan dalih agama, kendati ada sebagian kecil (atau mungkin besar) kaum puritan yang juga melakukan hubungan seksual pre-marital (dan makanya artikell ini dinamakan kemunafikan). Aksi-aksi untuk melakukan manajemen remaja yang telah melakukan hubungan seksual selama ini selalu gagal karena dibenturkan oleh kaum puritan tersebut.

Misalnya, kondom. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah untuk menyediakan kondom yang dapat diakses oleh siapapun. Kondom adalah satu-satunya alat kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan dan melindungi dari infeksi menular seksual (IMS), tetapi penggunaannya sangatlah rendah dan mengakibatkan melimpahnya prevalensi IMS serta kehamilan yang tidak diinginkan. Pernah ada upaya untuk membangun ATM kondom untuk mempermudah akses penggunaan kondom yang tidak merata secara rural-urban, tetapi tentu saja akses ini mengalami penolakan, tentu saja dengan alasan keagamaan. Sedihnya lagi, upaya lainnya seperti pekan kondom nasional dan agendanya juga ditolak, lagi-lagi dengan alasan bahwa kegiatan tersebut mempropagandakan hubungan seksual secara bebas.

Bentuk kegagalan edukasi komprehensif juga terlihat dari bentuk depiksi hubungan seksual dan penekanan atas abstinensi dalam setiap pelajaran ketika topik hubungan seksual menjadi narasi utama. Padahal, kita semua tahu bahwa abstinensi bukanlah bentuk edukasi yang tepat dan mengalami kegagalan dalam mencegah hubungan seksual pranikah. Maka dari itu, tidaklah mengherankan ketika kita melihat prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, dan IMS serta HIV/AIDS di kalangan remaja Indonesia. Hal ini membuat kita hanya bisa gigit jari belaka. Angan-angan akan bonus demografi harus terkubur jauh ketika kita mengingat bahwa kesehatan holistik remaja sedari awal telah dirusak oleh kaum puritan. Belum lagi ketika kita melihat akan adanya konsekuensi minimnya kesehatan reproduksi terhadap peran gender yang masih menjadi pekerjaan besar bagi negara dengan budaya patriarki dan misoginis seperti Indonesia. Amplifikasi budaya patriarki atas landasan agama juga bukan hal yang asing di telinga masyarakat, bahkan bagi orang awam sekalipun.

Agama dan determinan kesehatan

Agama adalah salah satu determinan kesehatan yang sebenarnya, dalam opini penulis, tidak mendapatkan porsi perhatian yang besar. Kuesioner survei 2018 sendiri bahkan tidak menanyakan tentang agama ataupun tingkat relijiusitas, padahal langkah awal ini dapat menjadi salah satu landasan untuk melihat masyarakat puritan dan memahami konstruksi pemikiran mereka. Penolakan sosial dari umat beragama akan sesama umat yang dinilai melanggar agama mereka dan aksi boikot terhadap aplikasi kesehatan masyarakat di masyarakat adalah dua contoh dari bagaimana agama berperan dalam kesehatan suatu individu.

Intervensi akan agama bukannya tidak mungkin, tetapi sulit untuk dilakukan, mengingat intervensi terhadap hal dogmatis hanya akan menyulut kelompok puritan–yang jumlahnya diperkirakan dominan di Indonesia–dan hal ini menyebabkan kondisi di Indonesia tergencet oleh ketidakberdayaan yang sebenarnya dapat berdaya pula.

Batas tipis antara agama: apa yang berlaku, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya tidak apa-apa dilakukan penulis nilai sangatlah tipis dan menjadi permainan bagi kaum puritan untuk memainkan apa yang dinilai menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi mereka. Telah banyak artikel yang membahas hipokrisi atas landasan agama dan sayangnya, topik ini tidak menjadi sorotan di kesehatan masyarakat.

Rekonstruksi agama dalam kesehatan masyarakat adalah hal yang krusial, terutama pada negara yang kehidupan sosialnya berputar pada agama–mempengaruhi sendi-sendi sosial lainnya dan tidak jarang memberikan dampak yang sebenarnya malah menjatuhkan derajat kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Rekonstruksi bagaimana seseorang menolak pengobatan dan metode preventif atas dasar agama, bagaimana pengukuhan pola pikir tentang edukasi seksual yang masif pada kelompok puritan, dan hal-hal lainnya adalah salah satu cara yang dapat ditempuh agar intervensi kesehatan masyarakat di masa depan nantinya bukanlah sesuatu yang bersifat cuap-cuap belaka.

Penutup

Penulis beranggapan bahwa masyarakat puritan memegang salah satu kunci dalam memperbaiki derajat kesehatan masyarakat dan hal ini kerap luput ketika melakukan intervensi dan tidak jarang berujung pada pemboikotan, seperti pada yang selalu terjadi di masyarakat yang penuh kemunafikan. Perlu adanya dialog antara ahli kesehatan masyarakat dengan masyarakat puritan secara mendalam dan lanjut; dan bahwasanya kontrol atas golongan puritan sebaiknya segera menjadi perhatian dalam memperbaiki derajat kesehatan masyarakat.

--

--