Pelakor: Bukti Linguistik tentang Bias Gender di Indonesia

Fadhaa Aditya
6 min readMay 10, 2021

Pe — perebut

Lak — laki

Or — orang

Pelakor (nomina) — perebut laki orang

Sudah tidak asing lagi menggema di telinga kita tentang masyarakat yang menuduh seorang perempuan — baik yang masyarakat tersebut kenali secara pribadi ataupun tidak — sebagai seorang “pelakor.” Meskipun demikian, sedikit sekali rasanya orang merasakan bahwa kata “pelakor” sebenarnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang diemban sedari peradaban kerajaan sampai masa kontemporer seperti sekarang. Mungkin lebih sedikit daripada orang yang merasa bahwa menanyakan agama apa yang dianut oleh orang lain itu adalah tindakan tidak sopan.

Konteks pelakor yang diartikan sebagai perebut laki orang digadang-gadang dimulai sebagai julukan untuk seorang pembawa acara gosip pada era 90-an, yakni Mayang Sari, yang oleh masyarakat Indonesia pada masa tersebut dianggap sebagai “penghancur rumah tangga” dari seorang Bambang Suharto. Kendati demikian, penggunakan kata pelakor tersebut sempat meredup dan baru tenar kembali setelah awal tahun 2018, ketika seorang aktris berinisial JD dianggap sebagai pelakor dari seorang istri dan suami orang lain. Istri sah tersebut kemudian mengunggah cuitannya ke Instagram dan unggahan tersebut ramai diperbincangkan di mana-mana. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa penggunaan kata pelakor meroket tajam karena difasilitasi oleh media sosial Instagram.

Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, bahwa ternyata, penggunaan kata pelakor ini adalah bentuk linguistik, hasil konstruksi gender masyarakat, yang sangat menyudutkan pihak perempuan dalam situasi perselingkuhan. Lebih dari itu, bahkan, banyak sekali perempuan-perempuan diluar sana yang menyuarakan ungkapan pelakor tersebut kepada perempuan lainnya! Bukankah ini merupakan sebuah ironi yang sungguh menyedihkan?

Mengapa demikian? Lucunya, jawaban dari pertanyaan ini jelas sekali terpampang dari arti kata pelakor itu sendiri. Terminologi pelakor nyatanya malah menempatkan perempuan dalam posisi “perebut” seolah-olah perempuan menjadi pihak yang aktif dalam “merebut” kekasih orang. Berangkat dari terminologi tersebut pula, laki-laki diimplikasikan sebagai sebuah objek atau pihak yang diperebutkan. Dari realita tersebut, ternyata tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat telah menjebak perempuan dalam sebuah stigma, yakni stigma sebagai satu-satunya “agen” aktif yang terlibat dalam perselingkuhan dan malah mengecilkan peran laki-laki dalam perselingkuhan. Padahal, laki-laki juga memiliki andilnya sendiri, baik itu dalam porsi setara atau bahkan lebih dari perempuan.

Adapun sesungguhnya pengkambinghitaman perempuan ini telah dibahas dalam sebuah jurnal berjudul Pelakor : An Unjust Discursive Term for ’ the Other Woman (2019) oleh Nelly Martin-Anatias. Jurnal tersebut mengumpulkan satu persatu komentar dari tumpukan komentar yang ada terkait unggahan mengenai pelakor tersebut pada media sosial Instagram. Terbukti bahwa, seperti yang diungkapkan pada jurnal ini dan uraian penulis sebelumnya, media sosial, khususnya Instagram, menjadi salah satu media yang mengamplifikasikan kata pelakor dan stigma-stigma yang mengikutinya. Salah satu alasan yang mungkin dapat menjelaskan hal ini adalah karena tendensi yang timbul untuk mengunggah kehidupan pribadi pada platform Instagram yang memang sangat mengedepankan unggahan berbentuk foto.

Komentar-komentar yang dapat ditemui adalah sebagai berikut.

buat pelakor klo mau ank berdoa lah sama allah ..biar di ksh titipan dunia terindah…jgn berdoa selalu ingin rebut suami org dan ingn menguasi suami org

Komentar menggelitik pertama ini menyiratkan bahwa perempuan adalah pihak yang memiliki tendensi untuk merebut kekasih orang lain.

pelakor kan pembegal juga. Mbegal suami orang. Bunuh aja kalik yaaa

Komentar kedua yang tak kalah menggelitik ini mengimplikasikan bahwa perempuan, dalam hubungan perselingkuhan, berperan ganda sebagai “pencuri” sekaligus “pembegal” kekasih orang lain.

paling jijik gw ama pelakor. Rumah tangga gue berantakan gara-gara pelakor pengen mapan. Coba cowoknya miskin apa iya pelakornya mau sama yang sudah beristri. Ganggu rumah tangga orang!

Komentar terakhir dan yang paling menggelitik menurut penulis pribadi, menuduh perempuan sebagai pihak yang merebut kekasih orang lain hanya karena uang belaka. Dengan kata lain, komentar ini meletakkan perempuan sebagai pihak yang hanya dapat bergantung secara finansial kepada laki-laki dan melemahkan daya perempuan seolah-olah makhluk yang tidak dapat berdiri di kakinya sendiri.

Perlu ditekankan kembali bahwa sebenarnya komentar-komentar tersebut hanyalah sebagian kecil komentar yang diambil dari tumpukan hujatan mengenai perempuan di media sosial. Hal ini mengindikasikan telah adanya normalisasi bias gender pada masyarakat Indonesia dalam konteks perselingkuhan.

Lebih parah lagi, tidak jarang pula juga ditemui adanya percakapan yang menyalahkan seorang istri yang dinarasikan segala kekurangannya, seperti tidak begitu cakap dalam merawat, mengurus, dan membahagiakan suami, sehingga seorang pelakor dapat dengan mudah menghancurkan rumah tangga mereka. Sesungguhnya semua hal yang disebutkan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah beban ganda perempuan dalam konstruksi sosial, khususnya kehidupan rumah tangga. Dalam narasi masyarakat, perempuan dilukiskan sebagai seorang “pelakor” dan sebagai “orang yang tidak becus mengurus rumah tangga.” Ini adalah sebuah ironi yang lahir dari masyarakat yang sangat merendahkan perempuan.

Lantas yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejak kapan penghinaan terhadap perempuan ini dianggap normal oleh masyarakat Indonesia? Sesungguhnya, semenjak zaman kerajaan pun, sering kali dijumpai narasi yang menyebutkan perempuan sebagai seorang selir belaka. Sampai jaman kesultanan pun, pengecilan peran perempuan pun tidak kunjung mengalami perbaikan. Di kesultanan Jawa, tempat patriarki bersarang, ada sebuah tempat khusus bernama Kaputren, sebuah tempat yang menjadi saksi eloknya perempuan-perempuan Jawa dalam mengerjakan tugasnya sebagai perempuan sebagai sebuah keharusan.

Kaputren telah menyaksikan merdunya canting batik menuangkan malam yang beradu dengan kain dari tangan seorang perempuan Jawa yang diwajibkan untuk membatik serta harumnya kepulan asap dari hasil memasak oleh perempuan Jawa yang diwajibkan untuk memasak pula.

Tidak dapat dipungkiri pula, kesempatan studi perempuan sejak dahulu begitu pelik. Tidak akan pernah lepas dari ingatan kita tentang perjuangan Kartini dan Dewi Sartika yang harus berjuang dan bersusah payah untuk dapat mengenyam bangku pendidikan. Bahkan sampai sekarang pun, masyarakat masing menyuruh perempuan untuk tidak berkuliah karena akan menyulitkan pernikahannya sendiri. Sungguh alasan yang konyol.

Orde Baru dan Konstruksi Gender di Indonesia

Akan tetapi, penetrasi tentang konstruksi gender baru menembus akar pemikiran masyarakat setelah ditanamkannya pola pikir tersebut pada era orde baru. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Soeharto adalah seorang Jawa yang monogamis. Pun demikian juga keluarga Soeharto yang meemgang teguh kebudayaan Jawa. Perkawinan antara kebudayaan Jawa dengan norma-norma Islam melahirkan tiga konsep konstruksi sosial terkait perempuan.

Konsep pertama adalah ibu atau mother yang pada zaman orde baru definisinya dibatasi pada arti biologis saja. Konsep kedua adalah istri atau housewife yang pada zaman orde baru digambarkan sebagai seseorang yang bergantung pada suaminya, mengurusi suami dan anaknya, serta menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Konsep kedua ini juga bersinggungan dengan konsep bernama housewifization atau “meng-istri-kan” yang berkenaan dengan kehidupan perempuan sebagai pihak yang bergantung pada suaminya, terutama terkait dengan finansial. Laki-laki selalu dipandang sebagai pencari nafkah dan menempatkan perempuan dalam posisi tidak menguntungkan dan tidak memiliki kekuatan ekonomi, sehingga dianggap lebih lemah daripada laki-laki. Konsep terakhir adalah ibuisme, sebuah ideologi yang mendukung kegiatan ibu untuk mengurus keluarga, kelompok, kelas, perusahaan, atau bahkan negara, tanpa meminta kekuasaan atau prestis sebagai imbalannya. Ibuisme negara adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan konstruksi politik di Indonesia pada masa orde baru.

Dalam konsep ibuisme negara, seorang perempuan dipandang sebagai “pendamping” suaminya belaka dalam mengurusi negara, sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan dalam tatanan orde baru dilihat sebagai properti atau objek belaka.

Melekatnya konsep ibuisme negara ini dapat dilihat pada sebuah organisasi Dharma Wanita. Peran wanita dalam Dharma Wanita dianggap sebagai “pemenuh” kebutuhan laki-laki dalam tatanan sistem, yakni, seorang wanita akan menjadi representasi suatu asosiasi, menyiratkan jabatan perempuan tersebut didapatkan bukan karena prestasi mereka sendiri, melainkan karena prestasi suami mereka. Bahkan, kehadiran perempuan dalam Dharma Wanita akan mempengaruhi karir suaminya, menyiratkan perempuan dibutuhkan hanya untuk mengamankan karir suaminya, yang dengan kata lain, perempuan digunakan sebagai alat untuk mengukuhkan jabatan suaminya.

Relevansinya pada Dunia Kontemporer

Beberapa orang mungkin akan bertanya tentang relevansi tulisan ini di masa kontemporer seperti sekarang, mengingat tulisan ini sering kali merujuk kepada era orde baru. Maka, apakah masih relevan? Tentu saja masih!

Meskipun era orde baru telah berakhir beberapa tahun silam, tetapi konstruksi gender, khususnya tentang perempuan, telah terpenetrasi jauh mengisi relung yang ada pada masyarakat dari zaman dahulu sampai sekarang.

Perempuan, sebagai pihak yang dianggap tidak menjadi kambing hitam dalam suatu perselingkuhan dengan tuduhan mendekati kekasih orang lain, seakan-akan perempuan tidak memiliki daya ekonominya sendiri. Perempuan juga masih harus dituntut memiliki daya ekonominya sendiri. Perempuan juga masih harus dituntut mengurusi rumah tangganya secara cakap dan rapih tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, demi menjaga kesetiaan laki-laki.

Maka kemudian yang menjadi pertanyaan bukanlah masihkah relevan, tetapi lebih kepada sampai kapan hal ini tetap relevan?

For further reading, please refer to:

Ida, R. (2001) ‘The Construction of Gender Identity in Indonesia: Between Cultural Norms, Economic Implications, and State Formation’, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 16(1), pp. 21–34.

Pratiwi, A., 2015. Julia Suryakusuma: Ibuisme Negara adalah Perkawinan antara Feodalisme dan Kapitalisme. [online] Jurnal Perempuan. Available at: <http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/julia-suryakusuma-ibuisme-negara-adalah-perkawinan-antara-feodalisme-dan-kapitalisme> [Accessed May 2021].

Martin-Anatias, N. (2019) ‘Pelakor : An Unjust Discursive Term for ’ the Other Woman ’’, (October).

--

--